Post Page Advertisement [Top]

space iklan

Kabar Terkini

Mengurai Kontroversi Maskot STQH Nasional 2025: Pentingnya Prinsip Desain Grafis dalam Representasi Simbol Sakral

majalahinspira.com - Penulis

 

Depok, majalahinspira.com - Desain visual, khususnya maskot sebagai representasi identitas sebuah acara, memegang peran krusial dalam menyampaikan pesan dan citra. Namun, kasus hebohnya dugaan maskot Seleksi Tilawatil Qur'an dan Musabaqah Al-Hadis (STQH) Nasional XXVIII Tahun 2025 di Kendari, yang menampilkan hewan endemik Anoa memegang Al-Qur'an, menjadi studi kasus penting dalam ranah desain komunikasi visual (DKV) mengenai kegagalan dalam mempertimbangkan konteks sosio-budaya dan religius.

Maskot, sebagai personifikasi visual acara, dirancang untuk mudah dikenali, menarik, dan merepresentasikan nilai-nilai acara tersebut. Kontroversi yang muncul, yang membuat Kementerian Agama (Kemenag) dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Pemprov Sultra) harus buka suara dan membantah keabsahannya sebagai identitas resmi—yang mana identitas resminya hanya berupa logo dan tema—menyoroti betapa sensitifnya penggabungan elemen-elemen sakral dan profan dalam desain.

Pelanggaran Prinsip Simbolisme dan Tone Visual

Dari sudut pandang desain grafis keilmuan, maskot yang dituding kontroversial ini menunjukkan potensi pelanggaran prinsip-prinsip utama, yaitu:

  1. Pelanggaran Simbolisme dan Makna: Maskot yang ideal harus memiliki makna filosofis yang kuat dan tidak menimbulkan ambiguitas atau penafsiran negatif. Penggunaan hewan (Anoa) yang oleh beberapa kalangan dianggap tidak pantas disandingkan langsung dengan kitab suci (Al-Qur'an) adalah titik kritis. Secara semiotika, Al-Qur'an memiliki status sakral dan sangat mulia, sementara Anoa, meskipun merupakan simbol kebanggaan daerah, adalah makhluk hidup biasa. Menggambarkan hewan memegang kitab suci dapat secara tidak sengaja mengkomunikasikan perendahan nilai kesakralan kitab tersebut, yang bertentangan langsung dengan tujuan syiar Al-Qur'an dalam acara STQH itu sendiri.

  2. Kesesuaian Konteks (Appropriateness): Prinsip kesesuaian menuntut desainer untuk memastikan elemen visual—termasuk gaya, bentuk, dan pose—selaras dengan tujuan acara. STQH adalah ajang kompetisi keagamaan yang khidmat, bermartabat, dan religius. Desain maskot yang terlalu "kartun" atau anthropomorfik dengan penggambaran yang konyol justru bisa merusak citra keseriusan dan kekhidmatan acara, meskipun tujuannya adalah mempermudah komunikasi.

  3. Konsistensi Identitas Visual: Panitia STQH Nasional telah meluncurkan logo resmi. Kemunculan maskot yang bersifat "inisiatif lokal" atau elemen dekoratif tanpa melalui proses peninjauan standar identitas visual nasional, menunjukkan adanya ketidakselarasan. Dalam branding acara besar, semua elemen visual harus tunduk pada panduan yang sama (visual identity guideline) untuk memastikan citra yang terpadu dan profesional.

Solusi Desain Grafis untuk Menghindari Kontroversi

Untuk menghindari kontroversi serupa, para desainer yang mengerjakan proyek dengan muatan keagamaan dan budaya yang tinggi harus menerapkan pendekatan yang lebih hati-hati dan berbasis riset:

  • Riset Mendalam tentang Simbol dan Makna Lokal-Religius: Sebelum menggabungkan objek sakral (seperti kitab suci) dengan objek sekuler (seperti hewan atau tokoh), desainer harus melakukan riset mendalam dan berkonsultasi dengan pemangku kepentingan agama atau budaya. Penggantian objek sakral dengan elemen visual yang bersifat lebih abstrak, seperti kaligrafi yang netral atau simbol visual yang merujuk pada ilmu pengetahuan Islam (misalnya, pena, bintang, atau pola geometris Islam), sering kali lebih aman dan tetap bermakna.

  • Prioritaskan Soft Power Budaya: Jika harus menggunakan hewan endemik (Anoa) sebagai representasi daerah, desainer dapat memfokuskan representasi tersebut pada ciri khas kedaerahan tanpa menyertakan simbol agama. Anoa dapat diposisikan sebagai "tuan rumah" yang ramah, gagah, atau tekun, merefleksikan nilai-nilai budaya lokal.

  • Uji Publik (User Testing) yang Sensitif: Proses pembuatan prototipe dan pengujian maskot harus melibatkan audiens yang beragam, terutama mereka yang sangat memegang teguh nilai-nilai keagamaan. Hal ini perlu dilakukan secara bertahap dan terstruktur untuk mengukur penerimaan visual dan menghindari penafsiran yang menyimpang.

Kasus maskot di Kendari ini menjadi pelajaran berharga bahwa desain grafis tidak hanya soal estetika, tetapi juga tentang komunikasi yang efektif dan etika simbolisme. Setiap elemen visual harus dirancang dengan kehati-hatian maksimal agar fungsinya sebagai media syiar dapat terlaksana tanpa menimbulkan perpecahan atau dugaan penistaan.

Bottom Ad [Post Page]

Sivitas

Tech

Sains

Biz

Creative

Sandbox

Fit