Mengapa Bangunan Pesantren Al Khoziny Runtuh? Beban Berlebih, Gagal Konstruksi, dan Mutu Material yang Diragukan
Depok, majalahinspira.com - Tragedi runtuhnya bangunan di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, menjadi sorotan tajam dari kacamata teknik sipil dan konstruksi bangunan, di mana para pakar memastikan bahwa penyebab utamanya adalah kegagalan konstruksi secara menyeluruh. Bangunan musala yang ambruk saat para santri melaksanakan salat Ashar pada Senin (29/9/2025) tersebut, meskipun telah berdiri selama lebih dari seabad sebagai bagian dari kompleks pesantren, telah mengalami perubahan dan penambahan struktur yang tidak mengikuti kaidah rekayasa sipil yang memadai. Menurut analisis awal dari ahli konstruksi, kegagalan ini bukan bersifat parsial, melainkan melibatkan seluruh elemen struktur utama.
Faktor determinan yang paling disoroti adalah penambahan beban yang signifikan tanpa perencanaan teknis yang memadai sejak awal. Bangunan tersebut, yang awalnya dilaporkan hanya dirancang untuk satu lantai, mengalami penambahan hingga menjadi tiga bahkan empat lantai di bagian yang sedang dikerjakan. Penambahan vertikal ini secara otomatis melipatgandakan beban yang harus ditanggung oleh struktur lantai di bawahnya. Beban yang tadinya 100% menjadi 200% hingga 300% dari kapasitas desain awal, mengakibatkan struktur lantai satu dan lantai dua tidak cukup kuat untuk menahan beban kerja yang baru. Penambahan beban ini juga diperparah dengan dugaan bahwa pengerjaan konstruksi baru dilakukan secara bertahap, di mana lantai di atasnya diisi dengan material baru saat proses pengecoran sedang berlangsung.
Para ahli teknik sipil menyuarakan kekhawatiran mengenai usia pengecoran beton yang belum matang saat beton baru sudah ditambahkan beban baru. Beton membutuhkan waktu minimal 14 hari, dan idealnya 28 hari, untuk mencapai kekuatan rencana yang memadai. Jika beban struktur ditambah sebelum beton mencapai kekuatan yang diperlukan, maka dapat terjadi kegagalan material yang prematur, yang membuat struktur menjadi tidak stabil atau labil. Selain itu, muncul pula dugaan kuat mengenai mutu material yang digunakan dan kesesuaian perencanaan dengan standar rekayasa struktur. Pakar mempertanyakan apakah bangunan ini direncanakan oleh tenaga teknik sipil profesional atau apakah material yang digunakan sesuai dengan spesifikasi teknis yang dibutuhkan untuk menopang bangunan bertingkat. Kegagalan material atau penurunan mutu beton di lapangan dari spesifikasi awal menjadi fenomena umum dalam pembangunan yang tidak diawasi ketat.
Basarnas dan tim pakar dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya yang melakukan asesmen di lokasi kejadian mengamati bahwa runtuhnya bangunan terjadi dengan pola pancake model (tumpukan datar) dan kegagalan terlihat jelas pada kolom utama di tengah bangunan yang berbentuk U-shape. Bentuk ini secara teknis menandakan bahwa struktur telah gagal total (totally collapse) dan tidak mampu memberikan sanggahan, yang merupakan bukti fisik dari kegagalan konstruksi. Insiden tragis ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya kepatuhan terhadap Undang-Undang Jasa Konstruksi, keharusan memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan perlunya melibatkan tenaga ahli yang kompeten dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan konstruksi, terutama untuk bangunan bertingkat.