Post Page Advertisement [Top]

space iklan

Efek Kiki-Bouba: Fenomena Psikologi yang Menghubungkan Bunyi dan Bentuk Visual

Majalah Inspira+ - Penulis

 

Depok, majalahinspira.com – Sebuah fenomena psikologis yang telah menarik perhatian para peneliti lintas disiplin dan budaya adalah efek Kiki-Bouba. Pertama kali diperkenalkan oleh Wolfgang Köhler pada tahun 1929, dan dipopulerkan kembali oleh V.S. Ramachandran dan Edward Hubbard pada 2001, efek ini menunjukkan adanya hubungan tidak acak antara bunyi dan bentuk visual.

Dalam eksperimen klasiknya, para responden diminta memilih mana dari dua bentuk yang lebih cocok diberi nama “kiki” dan mana yang “bouba”. Hasilnya, mayoritas peserta mengaitkan kata “kiki” dengan bentuk yang tajam dan bersudut, sedangkan “bouba” dipilih untuk bentuk yang bulat dan melengkung. Menariknya, tingkat konsistensi jawaban mencapai 95 hingga 98 persen, dan hasil serupa ditemukan di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan India.

Penelitian Lintas Budaya dan Usia

Studi lanjutan membuktikan bahwa efek ini tidak hanya muncul pada orang dewasa, tetapi juga ditemukan pada bayi usia 4 bulan, anak-anak prasekolah, dan bahkan individu tuna netra. Ini menunjukkan bahwa kecenderungan untuk mengasosiasikan bunyi dengan bentuk bukanlah hasil dari pembelajaran budaya semata, melainkan kemungkinan berasal dari kecenderungan biologis yang mendalam.

Penelitian yang melibatkan berbagai bahasa dan sistem tulisan juga mengonfirmasi efek ini. Sebuah studi tahun 2022 yang melibatkan 25 bahasa menunjukkan bahwa hubungan antara bunyi dan bentuk tetap konsisten lintas budaya, meskipun kekuatan asosiasi sedikit menurun pada bahasa seperti Mandarin dan Turki. Bahkan ketika sistem tulisan yang digunakan berbeda secara visual, efek Kiki-Bouba tetap terlihat.

Asal-usul dan Penjelasan Ilmiah

Beberapa teori dikembangkan untuk menjelaskan efek ini. Salah satunya adalah teori fonetik, yang menyatakan bahwa bunyi-bunyi tertentu secara alami diasosiasikan dengan bentuk tertentu karena cara mulut membentuk suara tersebut. Misalnya, kata “kiki” menghasilkan bunyi konsonan keras dan tajam yang mencerminkan bentuk bersudut, sedangkan “bouba” memiliki bunyi bulat yang mencerminkan lekukan.

Teori lain menyebutkan adanya hubungan antara suara dan bentuk dalam pengalaman sensorik kita sehari-hari. Objek tajam cenderung menghasilkan suara yang cepat dan keras, sedangkan benda bulat atau halus menghasilkan suara yang lebih lembut. Ini menandakan adanya bentuk sinestesia atau "ideesthesia", di mana pikiran kita secara alami menciptakan hubungan lintas indra.

Relevansi dalam Kehidupan Modern

Efek Kiki-Bouba memiliki implikasi luas, tidak hanya dalam bidang psikologi atau linguistik, tetapi juga dalam desain produk, pemasaran, dan teknologi. Banyak perusahaan menggunakan prinsip ini dalam pemilihan nama merek, logo, dan desain kemasan agar selaras dengan persepsi target audiens. Nama yang terdengar “tajam” sering diasosiasikan dengan kekuatan atau efisiensi, sementara nama yang “bulat” dikaitkan dengan kenyamanan dan kehangatan.

Dalam ranah neuropsikologi, pencitraan otak (fMRI) menunjukkan bahwa ketika kata dan bentuk tidak cocok secara simbolis, terjadi peningkatan aktivitas di bagian otak yang bertanggung jawab atas integrasi sensorik dan pemrosesan konflik. Ini memperkuat teori bahwa asosiasi bunyi-bentuk ini bukan sekadar kebetulan, melainkan bagian dari cara otak manusia memproses dunia.

Kesimpulan

Efek Kiki-Bouba membuka pemahaman baru tentang hubungan antara bunyi dan persepsi visual. Fakta bahwa asosiasi ini konsisten di berbagai budaya, usia, dan bahkan pada individu dengan keterbatasan visual, mengindikasikan bahwa hubungan tersebut bisa jadi merupakan bagian dari dasar biologis persepsi manusia. Fenomena ini tidak hanya memperkaya teori tentang asal-usul bahasa, tetapi juga memberikan panduan praktis dalam bidang desain, komunikasi, dan pengembangan teknologi yang lebih peka terhadap cara otak manusia merespons rangsangan multisensori.

Bottom Ad [Post Page]

Sivitas

Profile

Tech

Biz

Creative

Sandbox

Sports