Post Page Advertisement [Top]

space iklan

Ketika Mesin Mulai Menggantikan Manusia

 

Kemajuan teknologi, khususnya dalam bidang kecerdasan buatan (AI) dan platform seperti ChatGPT, telah menghadirkan berbagai kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. AI kini membantu manusia menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, efisien, dan akurat. Namun, di balik manfaat tersebut, muncul kekhawatiran besar: akankah peran manusia suatu hari tergantikan oleh mesin?

Kekhawatiran ini semakin mencuat ketika dua insiden menggemparkan terjadi di China. Dalam salah satu kasus, robot humanoid di sebuah pabrik tiba-tiba kehilangan kendali dan menyerang para pekerja. Insiden yang terekam kamera pengawas ini viral di media sosial dan memicu kepanikan akan potensi bahaya AI. Jauh sebelumnya, kejadian serupa terjadi di sebuah festival—robot humanoid kembali "mengamuk" dan menyerang pengunjung.

Dua peristiwa ini mempertegas kekhawatiran publik terhadap keamanan sistem robotik berbasis AI. Namun sejatinya, sinyal peringatan sudah lama disampaikan oleh film-film Hollywood.


Fiksi yang Mendekati Fakta

Film Terminator, yang dibintangi Arnold Schwarzenegger, menggambarkan masa depan distopia saat mesin mengambil alih dunia. Dalam kisah tersebut, mesin menguasai bumi dan mencoba mencegah lahirnya pemimpin pemberontakan manusia, John Connor, dengan mengirim robot pembunuh ke masa lalu. Meski fiksi, pesan yang disampaikan terasa nyata: teknologi bisa saja berbalik melawan penciptanya.

Film lain, I, Robot yang dibintangi Will Smith, berlatar di tahun 2035 dan menggambarkan kehidupan modern yang bergantung pada robot humanoid. Ketika robot mulai melanggar aturan dan menyerang manusia, masyarakat mulai menyadari ancaman laten di balik kenyamanan yang diberikan teknologi.


Kekhawatiran yang Tumbuh di Dunia Nyata

Kekhawatiran terhadap AI bukan sekadar cerita film. Di dunia nyata, AI telah memicu kegelisahan yang konkret, terutama di sektor tenaga kerja. Serikat Aktor Layar-Federasi Amerika untuk Televisi dan Artis Radio (SAG-AFTRA) menggelar aksi mogok selama 118 hari demi melindungi hak aktor agar tidak tergantikan oleh AI. Dunia hiburan pun mulai mempertanyakan peran manusia di tengah derasnya gelombang otomatisasi.

Di bidang musik, Brian May—gitaris legendaris dari Queen—menyuarakan kekhawatiran yang sama. Ia melihat AI sebagai ancaman bagi orisinalitas dan kreativitas musik. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, beberapa karya seni yang dihasilkan AI telah mendapat tempat di panggung seni global. Rumah lelang Sotheby's, misalnya, pernah menjual lukisan karya robot humanoid Ai-Da seharga $180.000. Ai-Da menciptakan lukisan berjudul AI God, yang terinspirasi dari tokoh Alan Turing.

Lebih mencengangkan lagi, muncul teknologi seperti GeoSpy—sebuah sistem berbasis AI yang mampu menentukan lokasi seseorang hanya dari satu foto. Dengan menganalisis elemen-elemen visual seperti vegetasi, bangunan, dan landmark, teknologi ini memperkirakan lokasi dengan akurasi tinggi. Kemampuan seperti ini memperlihatkan bahwa AI terus berkembang melampaui ekspektasi manusia.


Manusia di Persimpangan Jalan Teknologi

Kita kini berada di titik kritis dalam perjalanan teknologi. AI dan otomatisasi memang menawarkan efisiensi dan kemajuan, tetapi kita harus bertanya: apakah kita siap menghadapi masa depan di mana mesin bisa lebih dominan daripada manusia?

Teknologi harus tetap berada di bawah kendali manusia. Kita perlu memastikan bahwa kecerdasan buatan digunakan secara etis, aman, dan bertanggung jawab—agar bukan mesin yang memimpin, tetapi manusia yang tetap memegang kendali.

 

Catatan penulis

Saya Mulyadi Abdul Muis,  jurusan Teknik Grafika Penerbitan Tahun 1992, mantan Wartawan ANTV saat ini mengajar di TGP pada mata kuliah Kode Etik Pers

Bottom Ad [Post Page]