Jakarta, 29 April 2025 – Situasi darurat seperti gempa bumi atau kebakaran sering kali memunculkan kepanikan, terutama di tempat kerja. Fardyanto, seorang HSE practitioner dan alumni Politeknik Negeri Jakarta jurusan Teknik Mesin tahun 1999, menekankan pentingnya edukasi dan simulasi rutin sebagai cara paling efektif untuk menghadapi rekan kerja yang panik saat bencana.
Dalam sesi webinar bertajuk Emergency Response Plan, Fardyanto menjelaskan bahwa ketenangan dalam kondisi darurat tidak muncul secara instan, melainkan hasil dari pelatihan berulang. “Simulasi dan edukasi berkala membuat pekerja terbiasa, lambat laun mereka tidak panik,” ujar pria yang telah berkecimpung dalam bidang keselamatan kerja lebih dari dua dekade.
Namun, ia mengingatkan bahwa sebelum melakukan simulasi, perusahaan harus memetakan kondisi kesehatan para pekerja. “Identifikasi siapa saja yang memiliki trauma, penyakit jantung, atau sedang hamil. Karena saat kondisi darurat sungguhan terjadi, mereka harus segera dievakuasi ke tempat aman sebelum bisa ditenangkan,” tambah Fardyanto.
Menurutnya, kegagalan mengelola situasi panik bukan hanya membahayakan individu yang bersangkutan, tetapi juga dapat memperburuk keadaan bagi seluruh tim. Oleh karena itu, penyusunan Emergency Response Plan (ERP) wajib mencakup panduan khusus penanganan rekan kerja yang mengalami kepanikan ekstrem.
Selain menyentuh aspek kemanusiaan, Fardyanto juga mengungkap konsekuensi hukum dan bisnis bagi pelaku usaha yang lalai dalam menyiapkan sistem mitigasi bencana. “Jika perusahaan tidak memenuhi standar mitigasi sesuai regulasi pemerintah, maka bisa dikenakan sanksi serius, bahkan sampai penutupan operasional,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa dari perspektif konsumen pun, perusahaan yang tidak memiliki standar keselamatan memadai akan kehilangan kepercayaan pasar. “Customer bisa berpindah ke tempat yang lebih aman. Jadi, mitigasi bukan hanya soal hukum, tapi juga citra bisnis,” ujar alumni Politeknik Negeri Jakarta ini.
Lebih lanjut, Fardyanto mendorong semua lini perusahaan untuk aktif berperan dalam membangun budaya tanggap darurat—bukan hanya tim HSE, tetapi juga manajerial hingga staf pelaksana. Ia menyarankan agar semua SOP penanganan bencana disosialisasikan secara menyeluruh dan rutin dievaluasi melalui simulasi.
“Emergency response bukan hal yang bisa ditunda. Kita tidak pernah tahu kapan bencana akan datang, tapi kita bisa tahu bagaimana harus merespons,” tutup Fardyanto.
Sebagai lulusan Politeknik Negeri Jakarta yang telah sukses di dunia industri keselamatan kerja, Fardyanto berharap semakin banyak alumni PNJ yang mengambil peran penting dalam membentuk tempat kerja yang aman, tanggap, dan manusiawi.